
- Akta Pembagian Hak Bersama (APHB) adalah akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk secara sah mengakhiri status kepemilikan bersama atas properti (terutama tanah) dan menetapkan bagian hak individual masing-masing pemilik.
- Pembuatan APHB mutlak memerlukan kesepakatan bulat dari semua pemilik bersama dan wajib dilakukan di hadapan PPAT yang berwenang di lokasi tanah, bukan Notaris biasa.
- Prosesnya melibatkan musyawarah, pengumpulan dokumen lengkap (identitas pihak, bukti kepemilikan properti, bukti pajak PBB), pembayaran pajak terkait (PPh & BPHTB), penandatanganan akta, hingga pendaftaran ke Kantor Pertanahan (BPN).
- APHB berbeda fungsi dengan Surat Keterangan Waris (SKW) yang menetapkan ahli waris (sering menjadi syarat APHB warisan) atau Akta Jual Beli (AJB) yang digunakan untuk transaksi jual beli.
- Dokumen APHB memberikan kepastian hukum atas pembagian hak, menjadi dasar hukum untuk perubahan data atau pemecahan sertifikat di BPN, dan menyelesaikan status kepemilikan bersama secara formal.
Proses pembagian hak atas properti yang dimiliki lebih dari satu orang memerlukan langkah hukum yang jelas dan tidak cukup hanya dengan kesepakatan lisan. Dokumen kunci dalam proses ini adalah Akta Pembagian Hak Bersama (APHB).
Akta ini merupakan instrumen legal yang disahkan oleh Notaris atau PPAT untuk mengatur pembagian hak dan kewajiban para pemilik bersama secara resmi dan mengikat. APHB memastikan kepastian hukum bagi setiap pemilik atas bagiannya dan menjadi dasar untuk perubahan data di sertifikat tanah.
Artikel ini menyajikan panduan lengkap tentang APHB, mulai dari definisi, dasar hukum, hingga tips praktis dalam pembuatannya.
Apa Itu Akta Pembagian Hak Bersama (APHB)?
Akta Pembagian Hak Bersama (APHB) adalah akta otentik yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang. Fungsinya adalah sebagai bukti tertulis mengenai kesepakatan para pihak (pemilik bersama) untuk mengakhiri status kepemilikan bersama atas sebidang tanah (dan/atau bangunan di atasnya) dan menetapkan bagian masing-masing pihak menjadi hak individual yang terpisah.
Secara sederhana, APHB mengubah status dari “milik bersama” menjadi “milik perorangan” atas bagian-bagian tertentu dari properti tersebut, sesuai dengan kesepakatan para pemiliknya. Dokumen ini menjadi landasan hukum yang kuat untuk mendaftarkan perubahan kepemilikan tersebut pada kantor pertanahan (BPN) setempat.
Pembuatan APHB untuk aset tanah wajib dilakukan oleh PPAT, bukan Notaris biasa, karena berkaitan langsung dengan peralihan hak atas tanah.
Dasar Hukum APHB
Pembuatan dan fungsi APHB didasarkan pada beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia, antara lain:
- UU No. 5 Tahun 1960 & PP No. 24 Tahun 1997: Merupakan dasar hukum utama yang mengatur tentang hak atas tanah secara umum dan kewajiban pendaftaran tanah, termasuk peralihan hak karena berbagai sebab (termasuk pembagian hak bersama).
- PMA/KBPN No. 3 Tahun 1997 beserta perubahannya: Ini adalah Peraturan Pelaksanaan dari PP No. 24 Tahun 1997. Artinya, peraturan ini memberikan petunjuk teknis yang lebih rinci mengenai bagaimana prosedur pendaftaran tanah (yang diamanatkan oleh PP 24/1997) harus dilaksanakan oleh BPN.
- Pasal 111 Ayat (3) secara eksplisit menyebutkan bahwa pendaftaran pembagian hak bersama didasarkan pada akta PPAT (yaitu APHB) atau putusan pengadilan.
- Pasal 111 Ayat (4) mengatur kasus khusus jika salah satu pemegang hak bersama telah meninggal, yang memerlukan SKW dan APHB yang dibuat oleh seluruh ahli waris.
- Pasal 111 Ayat (5) merinci dokumen-dokumen yang harus dilampirkan saat mendaftarkan APHB ke BPN (Sertipikat asli, APHB, identitas, bukti pajak PPh/BPHTB, dan SKW jika perlu).
- PP No. 37 Tahun 1998: Mengatur tentang jabatan dan kewenangan PPAT dalam membuat akta-akta tanah, termasuk APHB.
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata): Menyediakan dasar konseptual mengenai hak milik bersama (Pasal 570 dst. versi lama atau relevansi dalam Buku 2 BW baru tentang Kebendaan) dalam hukum perdata Indonesia.
Baca juga:Â Contoh Surat Pernyataan Kepemilikan Tanah dan Syarat Pembuatannya
Perbedaan APHB vs. Surat Keterangan Waris (SKW) vs. Akta Jual Beli (AJB)
Masyarakat seringkali bingung membedakan APHB dengan dokumen hukum lainnya terkait properti. Berikut tabel perbandingannya:
Fitur | Akta Pembagian Hak Bersama (APHB) | Surat Keterangan Waris (SKW) / Akta Keterangan Hak Mewaris (AKHM) | Akta Jual Beli (AJB) |
Tujuan Utama | Membagi & mengakhiri kepemilikan bersama antar para pemilik | Menetapkan & membuktikan siapa saja ahli waris yang sah | Mengalihkan hak milik karena transaksi jual beli |
Para Pihak | Para pemilik bersama (co-owners) | Para ahli waris (sebagai subjek yang diterangkan) | Penjual dan Pembeli |
Objek Utama | Properti (tanah/bangunan) yang dimiliki bersama | Status kewarisan dari pewaris | Properti (tanah/bangunan) yang diperjualbelikan |
Hasil Akhir | Penetapan hak individual atas bagian properti untuk setiap pemilik | Daftar ahli waris yang diakui secara hukum | Peralihan hak milik properti dari penjual ke pembeli |
Pejabat Pembuat | PPAT | Notaris (AKHM), Lurah/Camat/Notaris (SKW, tergantung ketentuan) | PPAT |
Kapan Digunakan? | Saat pemilik bersama sepakat membagi properti | Sebagai bukti status waris (sering jadi syarat APHB warisan) | Saat terjadi transaksi jual beli properti |
SKW/AKHM seringkali menjadi dokumen prasyarat untuk membuat APHB jika kepemilikan bersama berasal dari warisan. SKW/AKHM membuktikan siapa saja yang berhak ikut dalam APHB tersebut sebagai ahli waris.
Langkah-langkah Membuat APHB
Proses pembuatan APHB melibatkan beberapa tahapan penting yang perlu diikuti:
- Musyawarah dan Kesepakatan Para Pemilik Bersama: Tahap paling awal dan krusial adalah tercapainya kesepakatan bulat di antara semua pemilik bersama mengenai pembagian properti. Tanpa kesepakatan ini, APHB tidak dapat dibuat. Sepakati bagian masing-masing secara jelas.
- Menunjuk PPAT: Pilih dan tunjuk PPAT yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah berada (sesuai kecamatan).
- Pengumpulan dan Verifikasi Dokumen: Siapkan dan serahkan seluruh dokumen persyaratan (lihat checklist di bawah) kepada PPAT. PPAT akan melakukan verifikasi keabsahan dokumen dan memeriksa status tanah di Kantor Pertanahan (BPN), termasuk pengecekan potensi sengketa atau pemblokiran.
- Pembayaran Pajak Terkait: Lakukan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) bagi pihak yang melepaskan hak (jika ada nilai pengalihan) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) bagi pihak yang memperoleh hak. Bukti setor pajak ini menjadi syarat mutlak.
- Pembuatan Draf APHB: PPAT akan menyusun draf APHB berdasarkan data, dokumen, dan kesepakatan para pihak. Para pihak sebaiknya memeriksa kembali draf ini dengan teliti.
- Penandatanganan APHB: Semua pemilik bersama (atau kuasanya yang sah) wajib hadir dan menandatangani APHB di hadapan PPAT pada waktu yang ditentukan. PPAT akan membacakan akta sebelum ditandatangani.
- Pendaftaran Akta ke BPN: Setelah APHB ditandatangani, PPAT wajib mendaftarkan akta tersebut ke Kantor Pertanahan setempat selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak tanggal penandatanganan untuk keperluan pencatatan peralihan hak atau sebagai dasar untuk pemecahan sertifikat.
- Penerbitan Sertifikat Baru (Jika Ada Pemecahan): Jika APHB diikuti dengan permohonan pemecahan sertifikat, BPN akan melakukan proses pengukuran ulang (jika diperlukan) dan menerbitkan sertifikat baru sesuai bagian masing-masing pemilik.
Baca juga:Â 11 Contoh Surat Wasiat dan Panduan Membuatnya, Terlengkap!
Checklist Dokumen APHB
Persiapan dokumen yang lengkap akan memperlancar proses pembuatan APHB. Berikut adalah checklist umum:
- Dokumen Para Pihak (Semua Pemilik Bersama)
- Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku.
- Fotokopi Kartu Keluarga (KK).
- Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
- Fotokopi Akta Nikah (jika sudah menikah).
- Fotokopi Akta Cerai / Surat Kematian Pasangan (jika relevan dengan status kepemilikan).
- Surat Keterangan Waris (SKW) / Akta Keterangan Hak Mewaris (AKHM), jika kepemilikan bersama berasal dari warisan.
- Dokumen Properti
- Sertifikat Tanah Asli (SHM/SHGB/SHP).
- Bukti Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) tahun berjalan beserta bukti lunasnya (STTS).
- Izin Mendirikan Bangunan (IMB), jika ada bangunan di atas tanah dan relevan dengan pembagian. (Opsional tergantung kasus).
- Surat Roya (jika tanah pernah dijaminkan dan sudah lunas).
- Dokumen Pajak
- Bukti Pembayaran/Validasi PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas pengalihan hak (jika terutang).
- Bukti Pembayaran/Validasi BPHTB bagi pihak yang memperoleh hak.
Untuk memudahkan persiapan Anda, unduh checklist lengkap dokumen APHB dalam format PDF di sini.
Contoh Kasus Praktis Penggunaan APHB
Untuk memberikan gambaran lebih jelas, berikut beberapa contoh kasus di mana APHB diperlukan:
Kasus Warisan
Tiga orang bersaudara (Adi, Budi, Citra) mewarisi sebidang tanah seluas 600 m² dari orang tua mereka. Mereka sepakat membagi tanah tersebut sama rata, masing-masing 200 m².
Mereka membuat SKW terlebih dahulu, lalu mendatangi PPAT untuk membuat APHB yang menyatakan pembagian tersebut. APHB ini menjadi dasar untuk memecah sertifikat induk menjadi 3 sertifikat baru atas nama Adi, Budi, dan Citra masing-masing seluas 200 m².
Baca juga:Â
- Hukum Waris: Sistem Pembagian Harta Warisan di Indonesia
- Surat Keterangan Ahli Waris: Syarat, Cara Mengurus, dan Contohnya
Kasus Pembelian Bersama (Usaha Patungan)
Dua rekan bisnis, Dani dan Eka, membeli ruko bersama dengan status kepemilikan 50:50 di sertifikat. Setelah beberapa tahun, mereka sepakat untuk memisahkan kepemilikan ruko tersebut, di mana Dani akan memiliki lantai 1 dan Eka lantai 2 (jika memungkinkan secara fisik dan hukum bangunan bertingkat).
Mereka memerlukan APHB untuk menetapkan bagian masing-masing secara resmi sebelum memproses perubahan atau pemecahan sertifikat (jika memungkinkan menjadi satuan rumah susun atau strata title).
Jika pemisahan fisik tidak memungkinkan, APHB bisa digunakan untuk salah satu pihak membeli bagian pihak lain, lalu APHB diikuti AJB.
Kasus Perceraian (Pembagian Harta Gono-Gini)
Sepasang suami istri, Fajar dan Gita, bercerai. Berdasarkan putusan pengadilan atau kesepakatan, rumah yang mereka beli selama pernikahan (harta bersama) harus dibagi dua.
Mereka menggunakan APHB untuk menetapkan bagian masing-masing atas rumah tersebut (misal, Fajar mendapat 50%, Gita 50%). APHB ini menjadi dasar untuk mengubah nama di sertifikat atau, jika rumah dijual, hasil penjualannya dibagi sesuai porsi dalam APHB.
Baca Juga: Apa Itu Harta Gono Gini? Jenis, Pembagian, dan Aturannya
Biaya & Pajak yang Harus Diperhatikan
Pembuatan APHB melibatkan beberapa komponen biaya dan pajak:
- Biaya Jasa PPAT: Besarnya bervariasi tergantung nilai properti (NJOP atau nilai transaksi yang disepakati) dan kompleksitas kasus. Umumnya dihitung berdasarkan persentase dari nilai properti, namun tidak boleh melebihi 1% sesuai peraturan jabatan PPAT. Tanyakan rincian biaya di awal kepada PPAT.
- Biaya Administrasi BPN: Meliputi biaya pengecekan sertifikat, biaya pendaftaran akta APHB, dan jika ada pemecahan sertifikat, akan ada biaya pengukuran ulang dan penerbitan sertifikat baru. Ini merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) resmi.
- Pajak Penghasilan (PPh): Ya, APHB umumnya dikenakan PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan. Pihak yang melepaskan sebagian haknya dianggap melakukan pengalihan dan terutang PPh sebesar 2,5% dari nilai bagian yang dialihkan (atau tarif lain sesuai ketentuan khusus). Pengecualian: Dalam kasus pembagian warisan murni antar ahli waris tanpa adanya pembayaran tambahan antar mereka, dimungkinkan untuk mendapatkan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh, namun prosesnya memerlukan pengajuan tersendiri ke kantor pajak. Sebaiknya konsultasikan aspek PPh ini.
- Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB): Ya, APHB menyebabkan terhutangnya BPHTB bagi pihak yang memperoleh hak bagiannya. Tarifnya adalah 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) yang besarannya berbeda-beda di setiap daerah.
- Pajak Bumi dan Bangunan (PBB): Pastikan PBB tahun berjalan sudah lunas sebelum proses APHB, karena bukti lunas PBB (STTS) adalah salah satu syarat wajib.
Proses pembuatan APHB di PPAT biasanya cepat jika dokumen lengkap. Namun, proses pendaftaran di BPN hingga terbitnya sertifikat baru bisa memakan waktu beberapa minggu hingga beberapa bulan, tergantung pada kelengkapan dokumen, kecepatan verifikasi, antrean di BPN, dan ada tidaknya proses pengukuran ulang untuk pemecahan.
Aturan PPh dan BPHTB terkait APHB bisa cukup kompleks dan tergantung kasus. Sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan PPAT atau konsultan pajak untuk memastikan perhitungan pajak Anda benar.
Tips Penting Sebelum dan Selama Proses APHB
Untuk memastikan proses pembuatan APHB berjalan lancar dan aman, perhatikan tips berikut:
1. Kapan Perlu Pemecahan Sertifikat?
APHB sendiri adalah akta pembagian hak. Pemecahan sertifikat fisik menjadi beberapa sertifikat baru adalah tindak lanjut dari APHB di BPN. Diskusikan dengan PPAT apakah Anda hanya perlu APHB untuk mencatat bagian di sertifikat induk atau langsung dilanjutkan dengan proses pemecahan.
2. Cek Nama & Data di Sertifikat Tanah
Sebelum memulai, pastikan nama semua pemilik bersama sudah tercantum dengan benar (sesuai KTP/identitas resmi) di sertifikat asli. Periksa juga keakuratan data luas tanah dan nomor identifikasi bidang tanah (NIB).
3. Pastikan Status Tanah Tidak Dalam Sengketa / Agunan
Minta PPAT melakukan pengecekan menyeluruh di BPN untuk memastikan tanah tidak sedang dalam sengketa, tidak diblokir, dan tidak sedang menjadi jaminan utang (hak tanggungan). APHB tidak bisa diproses jika ada masalah status ini.
4. Cek Kejelasan Batas Tanah
Terutama jika akan dilakukan pemecahan, pastikan batas-batas fisik tanah di lapangan sudah jelas dan disepakati bersama antar pemilik dan dengan tetangga. Jika ragu, pertimbangkan pengukuran ulang oleh petugas BPN atau juru ukur berlisensi.
5. Dokumentasikan Seluruh Proses
Simpan salinan semua dokumen yang diserahkan, draf APHB, bukti pembayaran (PPAT, BPN, Pajak), dan akta APHB asli setelah selesai. Ini penting untuk arsip dan jika ada keperluan di masa depan.
6. Pastikan PPAT Berwenang di Lokasi Tanah
Sekali lagi, PPAT harus memiliki wilayah kerja yang mencakup kecamatan tempat lokasi tanah berada. Jangan menggunakan PPAT dari wilayah lain. Verifikasi status aktif PPAT tersebut.
7. Komunikasi Terbuka Antar Pemilik Bersama
Terutama dalam kasus warisan atau kepemilikan keluarga, komunikasi yang baik dan transparan sejak awal sangat penting. Pastikan semua pihak benar-benar sepakat dengan pembagian yang akan dituangkan dalam APHB untuk menghindari konflik internal di kemudian hari.
Bisakah APHB Ditandatangani Secara Elektronik?
Hingga saat ini, penandatanganan akta otentik pertanahan seperti APHB umumnya masih harus dilakukan secara fisik di hadapan PPAT. Kehadiran fisik para pihak (atau kuasanya yang sah) di hadapan PPAT saat penandatanganan merupakan elemen penting untuk menjamin keabsahan dan kekuatan pembuktian akta tersebut.
Namun, dokumen-dokumen pendukung atau perjanjian awal (kesepakatan pembagian di bawah tangan) sebelum pembuatan APHB bisa saja dibuat dan ditandatangani secara elektronik. Untuk keperluan ini, Anda bisa menggunakan platform seperti Mekari Sign yang menyediakan tanda tangan digital tersertifikasi yang sah secara hukum sesuai UU ITE. Mekari Sign juga bisa membantu Anda mengelola dan menyimpan salinan digital APHB Anda setelah selesai dibuat oleh PPAT.
Peraturan bisa berubah seiring perkembangan teknologi dan kebijakan pemerintah. Selalu konfirmasikan prosedur penandatanganan terkini langsung dengan PPAT yang Anda tunjuk.
Itu dia penjelasan lengkap tentang APHB. Ingat! APHB adalah instrumen hukum penting untuk memberikan kepastian hukum atas pembagian aset yang dimiliki bersama, terutama tanah. Oleh karena itu, proses pembuatannya wajib dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) agar sah dan mengikat secara hukum.
Meskipun pembuatan Akta Hibah atau APHB utama wajib melalui PPAT, pengelolaan dokumen-dokumen pendukung atau kesepakatan awal antar pihak bisa dipermudah dan diamankan secara digital. Mekari Sign menyediakan platform untuk menandatangani berbagai dokumen terkait dengan tanda tangan digital tersertifikasi dan e-meterai yang sah. Selain itu, Anda dapat menyimpan salinan digital Akta Anda dan dokumen penting lainnya dengan aman dan terorganisir di Mekari Sign.
Urusan dokumen jadi lebih mudah dengan Mekari Sign!

Referensi:
- Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
- Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016
- Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2019.
- Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2021.
- Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2022.
- Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
- Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 1997 TentangPendaftaran Tanah.
- Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.